Blogger news

Powered By Blogger
Ditulis Oleh Para Jurnal Indonesia. Diberdayakan oleh Blogger.

Pages - Menu

Latest Post

Jumat, 19 Oktober 2012

Direncanakan SDN Bojongemas Miliki Gedung Baru



Catatan Jurnalis - SD Bojongemas 1 dan 2 kemungkinan segera akan memiliki gedung baru. Gedung tersebut rencananya sebagai pengganti gedung sekolah yang sudah lama disegel ahli waris yang membuat sekitar 200 siswa sekolah tersebut harus belajar di ruang kelas milik sekolah lain lantaran gedung sekolahnya digembok ahli waris."Sementara ini siswa SD Bojongemas 1 dan 2 memang masih menumpang di gedung sekolah milik yayasan. Tapi kami, Muspika dan Desa Bojongemas sudah mencari solusi agar sekolah itu bisa memiliki gedung sendiri," kata Camat Solokanjeruk, Maksum, ketika ditemui wartawan di Kantor Kecamatan Solokanjeruk, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, Jumat (19/10) siang.
Maksum mengaku, telah mendapatkan kabar jika Pemerintah Kabupaten Bandung telah menyediakan anggaran yang rencananya untuk mencari pengganti gedung yang disegel. Namun, kata Maksum, anggaran tersebut bukan untuk pengadaan tanah. Itu mengapa Muspika melakukan kordinasi dengan Desa Bojongemas sebagai lokasi beradanya SD Boojongemas 1 dan 2 baru nanti.
"Rencananya kami akan menggunakan tanah desa. Tentunya semua juga harus melalui prosedur dan sesuai aturan. Karena berdasarkan permendagri No 4 tahun 2007, tanah desa boleh digunakan untuk saranan umum asalkan ada kesepakatan antara desa dan pihak peminjam tanah," kata Maksum.
Dikatakannya, tanah desa di Kampung Sapan, Desa Bojongemas, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, rencananya menjadi lokasi berdirinya gedung baru SD Bojongemas 1 dan 2.
Meski begitu, Maksum mengatakan, masih ada kendala untuk bisa merealisasikan hal tersebut. Pasalnya akses jalan menuju kampung tersebut kurang laiak sehingga memang membutuhkan perbaikan. Karena itu Maksmum mengupayakan ada dana stimulan untuk perbaikan jalan yang jaraknya sekitar 600 meter dari gedung lama SD Bojongemas 1 dan 2 itu.
"Kalau untuk itu memang bukan beban pemerintah. Karena itu kami akan memfasilitasi desa dan BPD untuk menangani persoalan tersebut," kata Maksum.
Dikatakan Maksum, pemerintah juga tetap akan menyelesaikan penyegelan gedung SD Bojongemas 1 dan 2 yang dilakukan ahli waris. Maksum mengatakan, pemerintah Kabupaten Bandung sudah dalam proses pengkajian dan proses penyelesaian.
"Proses penyelesaian tanah itu memang sulit karena datanya juga sulit. Karena itu kami sudah mencari bantuan orang yang ahli menangani persoalan sengketa ini dengan berkodinasi dengan Badan Pertanahan Nasional," kata Maksum.
Seperti diketahui kegiatan belajar mengajar (KBM) SD Negeri Bojong Emas 1 dan 2 harus pindah ke ruang kelas SMP Dinuel Islam dampak dari disegelnya gedung sekolahnya. Selain itu mereka tak bisa masuk sekolah secara normal lantaran ruangnnya terlebih dulu digunakan siswa SMP dan SMK Dinuel Islam.(Dent)

Pungutan e-KTP Itu Ngak Boleh, Haram !



Catatan Jurnalis- Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kapuspen Kemendagri), Reydonnyzar Moenek, menegaskan jika pembuatan e-KTP itu gratis alias tanpa pungutan apapun. Hal itu dikatakannya setelah mendengar pembuatan e-KTP di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung atau tepatnya di Desa Rancaekek Kulon dikabarkan dipungut uang sebesar Rp 5 ribu untuk setiap wajib KTP.
"Intinya yang namanya pembuatan e-KTP, karena itu merupakan hak masyarakat dan itu kewajiban pemerintah dan itu sudah dibiayai APBN dan sedikit dari APBD jadi intinya gratis. Pungutan apapun haram hukumnya," kata pria yang akrab dipanggil Donny itu kepada wartawan melalui ponselnya, Jumat (19/20).
Ditegaskan Donny kembali, dengan dalih apapun pungutan kepada setiap wajib e-KTP tidak diperbolehkan termasuk uang sukarela yang digunakan untuk transportasi, konsumsi dan keamanan seperti yang terjadi di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Itu mengapa Donny berang dengan persoalan pungutan yang terjadi di Kecamatan Rancaekek. ia pun perihatin ketika mendegar pungutan tersebut tak hanya terjadi di Desa Rancaekek Kulon.
"Menteri dalam negeri tidak kurang mengeluarkan surat edaran tentang pembuatan e-KTP. intinya tidak boleh membebani masyarakat dan itu tidak benarkan secara aturan," ujar Donny. Kalaupun ada, ucap Donny, harus jelas rinciannya dan masuk ke kas daerah. Dikatakannya, pungutan itu tidak memiliki dasar hukum.
Seperti diketahui, sebelumnya hal serupa pernah terjadi di dua desa lainnya di Kecamatan Rancaekek. Program pemerintah yang seharusnya bebas biaya itu berbiaya Rp 5 ribu per wajib KTP. Kepala Desa Cangkuang, Sobana di ruang kerjanya di Kantor Desa Cangkuang, Kamis (2/8), mengatakan pungutan itu sesuai dengan kesepatakatan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Namun demikian, Sobana mengaku tidak setuju dengan pungutan tersebut. Itu sebabnya Sobani mengaku tidak semua warganya membayar pungutan tersebut.
Hal senada juga diutarakan Kepala Desa Linggar melalui Kepala Seksi (Kasi) Pemerintahan, Iip Sarifudin, ketika ditemui wartawan di ruang kerjanya, Kantor Desa Linggar, Kamis (2/8). Iip menjelaskan, pungutan itu merupakan kesepakatan warga guna biaya operasional pengurusan E-KTP yang dilakukan di kantor desa. Pungutan tersebut, menurut Iip, untuk biaya operasional selama mendata wajib KTP.
Donny pun menyayangkan jika hal yang terjadi di Kecamatan Rancaekek terus berlangsung. Bahkan ia kecewa jika sampai tidak ada sikap dari dinas terkait terhadap persoalan itu. Pasalnya ia kembali mengatakan jika pembuatan e-KTP merupakan kewajiban negara dan menjadi hak warga negara Indonesia.
"Semua sudah ada aturannya. Dan berkali-kali Mendagri selalu mengingatkan. Intinya semua beban, pungutan, iuran dan apapun namanya itu, tidak diperbolehkan dan dibebankan kepada masyarakat," kata Donny.
Sementara itu, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Kadisdukcasip) Kabupaten Bandung, Salimin, mengaku sudah memanggil pimpinan di wilayah Kecamatan Rancaekek untuk menjelaskan yang terjadi.
"Saya sudah panggil sekcam dan camatnya. Persoalan ini salah informasi. Menurut mereka pungutan itu untuk orang yang membuat KTP lama. Artinya seolah-olah pembuat e-KTP seperti dipungut Rp 5 ribu," kata Salimin ketika dihubungi melalui ponselnya, Jumat (19/10).
Salimin menyebut, program e-KTP itu gratis sehingga setiap wajib KTP tidak diperbolehkan mengeluarkan biaya sedikitpun. Namun, Salimin mencontohkan, jika ada kesepakatan antara beberapa warga untuk menyewa alat transportasi itu tidak menjadi persoalan.
"Misalkan begini, lokasi perekaman e-KTP dengan rumah wajib KTP cukup jauh. Ketua RW kemudian memfasilitasi dengan menyewa sebuah mobil agar banyak warga tidak menggunakan kendaraan pribadi sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya banyak," kata Salimin.
Salimin pun melarang, pungutan atau sumbangan sebesar apa pun yang ditujukan untuk operator. Sebab, Salimin mengatakan, operator perekaman e-KTP sudah mendapatkan gaji dari pemerintah. Itu mengapa Salimin menilai penarikan yang terjadi di Kecamatan Rancaekek tersebut seperti dikordinasikan.
"Operator jangan dijadikan alasan dong. Operator dipekerjakan dua shift, yakni pagi dan malam. Nanti kalau sudah jam 16.00 akan ada shift kedua yang akan menggantikannya sampai pukul 22.00," kata Salimin yang merasa berabe lantaran adanya kasus pungutan yang tak jelas di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. "Kami akan terus pantau dan awasi pembuatan e-KTP di Rancaekek."
  Sementara lebih lanjut berdasarkan penuturan Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kapuspen Kemendagri), Reydonnyzar Moenek, di bawah ini merupakan dasar Hukum penerapan e-KTP
-  Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ;
-  Peraturan Presiden Nomor 26 tahun 2009 tentang Penerapan KTP Berbasis NIK secara Nasional  sebagaimana telah diubah dengan Peraturan  Presiden Nomor 35 Tahun 2010-  Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 471.130.5-335 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Teknis Penerbitan NIK &  Penerapan   KTP Berbasis NIK Secara Nasional
-  Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 2011 tentang Standar & Spesifikasi Perangkat Lunak & Blanko KTP Berbasis NIK Secara Nasional ;
-  Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9  tahun 2011 tentang Pedoman Penerbitan KTP Berbasis NIK Secara Nasional
-  Surat Edaran Menteri Dalam Negeri  No. 471.13/2715/MD tanggal 16 Juni 2010 tentang Pemutakhiran Data Kependudukan. Penerbitan NIK dan Persiapan Penerapan e-KTP ;
-  Surat Edaran Menteri Dalam  Negeri  No. 471.13/4141/SJ tanggal 13 Oktober 2010 tentang Penerbitan NIK dan Persiapan Penerapan  e-KTP  tahun 2011.
Tujuan
-  Mewujudkan  kepemilikan satu identitas (KTP) untuk satu penduduk yang memiliki kode keamanan dan rekaman elektronik data kependudukan berbasis NIK secara Nasional. (biodata,foto,sidik jari, iris mata dan tanda tangan) yang tersimpan dalam fisik e-KTP.
Manfaat
-  Untuk mencegah dan menutup peluang adanya KTP ganda dan KTP palsu, sehingga memberikan rasa aman dan kepastian hokum pada masyarakat.
-  Untuk mendukung terwujudnya data base kependudukan yang akurat, sehingga Data Pemilih dalam Pemilu & Pemilukada yang selama ini sering bermasalah tidak akan terjadi lagi, dan semua warga Negara Indonesia yang berhak memilih terjamin hak pilihnya.
-  Untuk mempermudah dan memberikan keamanan dalam pelayanan di berbagai sector baik Instansi pemerintah maupun swasta(Dent)



Briket “Kohe” Slamet Perlu Dorongan Pemerintah



Catatan Jurnalis - Kata briket pasti akan membayangkan segenggam batu berwarna hitam legam yang kerap menjadi bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah. Briket merupakan bahan bakar padat yang terbuat dari Batubara.
Namun ternyata tak semuanya briket berbahan dari batubara. Briket Kompos, misalnya. Briket ini berbahan baku sampah organik yang diolah sedemikian rupa hingga kegunaannya serupa dengan briket batubara. Pengolahannya pun tak serumit briket batubara. Briket kompos bisa dilakukan secara mandiri dan dilakukan di rumah.
Seperti yang dilakukan Slamet Rudiyanto (42), warga RT 3 RW 2, Perumahan Bina Karya, Desa Sindangsari, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung. Memiliki hobi membaca buku ternyata menggerakkan Slamet lebih kreatif dan belajar mandiri. Ia membuat briket kompos di rumahnya.
"Ini tahun keempat saya membuat briket dan terus berinovasi mengembangkan briket buatan saya," ujar Slamet ketika ditemui “Bn” di lokasi pembuatan briket yang letaknya berdampingan dengan rumahnya, Rabu (17/10). Ia pun menyebut briketnya sebagai briket kotoran hewan (kohe) lantaran kotoran hewan juga menjadi bahan dalam pembuatan briket kompos itu.
Namun demikian, Slamet tak hanya meniru membuat briket kompos berdasarkan teori yang tertuang dalam buku. Ia terus melakukan inovasi sehingga tak hanya merubah setumpuk sampah organik menjadi briket kompos saja. Slamet juga mampu membuat briket berbahan baku sampah anorganik yang dicampur dengan bahan lainnya.
"Kedua jenis bahan bakar buatannya itu memiliki nilai jual yang cukup menjanjikan. Harganya pun lebih murah ketimbang bahan bakar lainnya," kata Slamet. Briket kompos buatan Slamet memang warnanya tak seperti briket batubara. Briketnya berwana coklat seperti kotoran sapi yang mengering.
Pernyataan Slamet itu memang cukup beralasan. Pasalnya keterbatasan minyak bumi pasti harus mencari penggantinya. Namun tak semua bahan bakar alternatif ramah lingkungan dan mudah dalam pembuatannya. Arang misalnya. Untuk membuat arang harus membutuhkan kayu yang harganya mahal. Belum lagi asap yang dikeluarkan dari arang.
Berbeda halnya dengan briket kompos. Untuk membuatnya, ucap Slamet, tak perlu membutuhkan bahan baku yang mahal dan sulit diperoleh. Ribuan bahkan berton-ton sampah menanti untuk dirubah dan dijadikan briket. Apalagi di setiap Kabupaten/kota pasti memiliki tempat pembuangan akhir (TPA).
"Pembuatan briket ini membantu mengurangi jumlah sampah yang terus meningkat setiap tahunnya. Tapi juga memiliki manfaat untuk menjadi bahan bakar," ujar Slamet.
Slamet pun mengatakan, briket kompos lebih ramah lingkungan ketimbang bahan bakar lainnya. Dengan percobaannya selama empat tahun, Slamet mampu membuat briket yang mengeluarkan api biru dan tak mengeluarkan asap. Bahkan briket yang berasal dari sampah anorganik masih bisa direproduksi lagi. "Dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan 1 Kg briket ini bisa menyala 1-2 jam," ujar Slamet. Ukuran dan bentuknya, ujar Slamet, bisa disesuaikan dengan kebutuhan.
Meski begitu, Slamet tak memungkiri, kepercayaan masyarakat kepada bahan bakar dari minyak bumi memang masih tinggi. Masih banyak memandang sebelah mata briket kompos. Selain itu, masyarakat lebih senang menggunakan barang yang instan. Artinya, kata Slamet, masyarakat tak mau repot dalam melakukan sesuatu. Itu sebabnya briket buatan Slamet masih ditujukan kepada pelaku usaha yang menggunakan api dalam memasak produknya.
"Briket-briket buatan saya memang sudah banyak dipesan pengusaha dodol di Garut. Karena mereka masih menggunakan kayu bakar yang harganya mahal. Kalau untuk rumahan memang cukup sulit," kata Slamet.

Slamet mengaku, belum mampu memproduksi briket dengan jumlah yang banyak meski produknya mulai dikenal. Bahkan briket buatannya sudah cukup dikenal jajaran rektorat Universitas Padjadjaran (Unpad). Itu mengapa Slamet mendapatkan bantuan sebuah mesin dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unpad beberapa waktu lalu. Mesin tersebut, kata Slamet, memiliki nilai sekitar Rp 25 juta.
"Sekarang saya sudah bisa membuat 1 ton briket kompos jika menggunakan sampah ini," kata pria yang nyaris putus asa ketika mengembangkan kreatifitasnya itu. Ia mengaku hanya bisa 40 kg setiap harinya jika menggunakan cara manual. Karena itu ia tak mau terikat kontrak dengan pihak pengusaha karena belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen. "Setiap kg-nya dijual Rp 1500. Itu kalau ke konsumen langsung," kata Slamet. Sedangkan biaya produksi, kata Slamet, tak lebih dari Rp 800 per kg-nya.
Dikatakan Slamet, usahanya itu memang membutuhkan kerja sama banyak pihak. Dinas Perumahan Tata Ruang dan Kebersihan (Dispertasih) Kabupaten Bandung misalnya. Ia menyebut, membutuhkan bantuan Dispertasih dalam menyediakan bahan baku. "Kalau perlu pembuatan briket di TPA milik pemerintah agar tak banyak biaya transportasi," kata Slamet.
Tak hanya Dispertasih, briket buatannya juga membutuhkan sosialiasi terutama dalam hal kegunaan briket kompos. Karena itu ia ingin Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Bandung bisa membantu apa yang dilakukannya. "Terus terang sejauh ini saya baru bekerja sama dengan Unpad dan Karang Taruna," kata Slamet.
Slamet pun otpmisitis, briket akan menjadi bahan bakar alternatif. Sebab, briket olahannya sudah mulai didengar dan dipantau Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Lagi pula, ia bekerja sama dengan Unpad dalam mengembangkan teknologi pembuatan briket. "Kalau memang terbatas tempat usaha ini bisa berkembang dengan sistem retailer. Tapi kembali yang jelas kami membutuhkan bantuan pemerintah."(Deden Kusdinar)

Pungutan e-KTP Diduga Menjadi Proyek Terselubung


Catatan Jurnalis- Pungutan untuk membuat kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di wilayah Kecamatan Rancaekek diduga menjadi proyek terselubung. Pasalnya setiap wajib KTP di Desa Rancaekek Kulon, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, diminta Rp 5 ribu untuk membuat e-KTP."Apa dasar hukum memungut Rp 5 ribu kepada setiap wajib KTP? Kenapa di Kecamatan lain bisa dilakukan gratis tapi di Rancaekek semua desa harus ada pungutan," kata Ahmad Hidayat warga RT 01 RW 01 Desa Rancaekek Kulon, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Kamis (18/10).Selain itu, kata Ahmad, nominal yang dipungut ke setiap wajib KTP tersebut tidak memiliki rincian yang jelas. Hanya saja, kata dia, warga mendapatkan penjelasan pungutan tersebut digunakan untuk konsumsi operator pembuatan e-KTP yang melewati batas kerja."Alasannya sempit waktu sedangkan warga yang mau membuat e-KTP banyak. Dan yang membuat resah itu kenapa sosilasasi terkesan mendadak," kata pria yang juga tokoh masyarakat di Desa Rancaekek Kulon itu.Hal senada juga diutarakan Haji Agus (57) warga RT 4 RW 3 Desa Rancaekek Kulon ketika menghubungi “BN”melalui ponselnya, Kamis (18/10). Pria yang juga berjualan daging di Pasar Wahana, Kecamatan Rancaekek ini menilai pungutan tersebut cukup memberatkan terutama warga yang tidak mampu. "Warga kan tahunya kalau pembuatan e-KTP itu gratis. Tapi kok kenyataannya berbeda," kata Agus.Meski nominalnya memang tak memberatkan, yakni hanya Rp 5 ribu, namun, kata Agus, pungutan tersebut seperti dibuat-buat. Ia mengaku sebelumnya mendengar jika di desa tetangga, yakni Desa Rancaekek Wetan juga memungut biaya. "Kalau di sana kok cuma Rp 3 ribu. Kok tiba-tiba naik Rp 2 ribu di Rancaekek Kulon," kata Agus.Agus pun menyebut, alasannya dipungut biaya karena untuk konsumsi operator tidak lah masuk akal. Sebab, kata Agus, wajib e-KTP di Desa Rancaekek Kulon berjumlah sekitar 10 ribu orang. "Kalau dikalikan Rp 5 ribu totalnya Rp 50 juta. Uang segitu mah lebih kalau hanya buat konsumsi," kata Agus.Warga lainnya, Ade Jaja warga RT 4 RW 4 Desa Rancaekek kulon meradang ketika ditemui wartawan di Kantor Desa Rancaekek Kulon, Kamis (18/10). Ia menyebut ada dugaan praktek korupsi dalam pungutan itu. Sebab, pungutan itu tidak hanya dilakukan di satu desa saja."Kenapa harus masyarakat yang selalu menjadi objek penderita. Ini kan program pemerintah yang seharusnya gratis," kata Ade.Ade pun mengatakan, pungutan yang diberlakukan di Desa Rancaekek Kulon diumumkan secara mendadak. Akibatnya warga merasa kecewa dengan kebijakan tersebut. Apalagi kebijakan tersebut tiba-tiba disetujui desa, BPD, dan aparat RW. "Seharusnya sebelum dipungut dikumpulkan semua warga. Apakah mereka setuju atau tidak. Kini mereka hanya melempar kesalahan ketika warga mulai kecewa," kata Ade.Ade mengaku sudah melaporkan hal tersebut kepada Camat Rancaekek selaku pimpinan wilayah. Namun tanggapannya terkesan seperti membiarkan. "Dia hanya menjawab pembuatan e-KTP itu gratis," kata Ade.Dikatakan Ade, seharusnya Camat menindak tegas adanya pungutan yang tak hanya dilakukan di satu desa di Kecamatan Rancaekek itu. Itu mengapa Ade meminta pemerintah Kabupaten Bandung memperhatikan pungutan yang terjadi di Rancaekek. Apalagi kecamatan Rancaekek merupakan satu-satunya kecamatan yang mengadakan pembuatan e-KTP di masing-masing desa."Apapun alasannya itu hanya klise aparat desa. Alasan jauh lah, konsumsi lah apa pun itu hanya dibuat-buat. Sebab di kecamatan lain ternyata gratis," kata Ade. "Inspektorat Kabupaten Bandung harus terjun melihat persoalan yang terjadi di desa. Kalau perlu tegur camatnya agar menjadi pembelajaran."Sementara itu, pihak desa melalui sekretaris desa Taufik Kurnia Hermana membenarkan ada pungutan kepada setiap wajib e-KTP sebesar Rp 5 ribu. Namun, kata dia, pungutan tersebut bersifat sukarela. "Yang tidak mampu boleh tidak membayar," kata Taufik ketika ditemui di ruang kerjanya, Kamis (18/10).Taufik mengatakan, pungutan tersebut sudah disepakati bersama semua pihak, yakni kepala desa, BPD, dan Ketua RW di Desa Rancaekek Kulon. Pungutan tersebut, ucap Taufik, untuk membayar uang lembur operator e-KTP. "Mereka kan kontrak kerjanya dari jam 8-4. Tapi banyaknya wajib KTP membuat mereka harus menambah jam kerja," kata Taufik. Dikatakan Taufik, yang tercatat menjadi wajib e-KTP berjumlah sekitar 10700 orang.Selain untuk membayar lembur petugas operator, pungutan tersebut juga digunakan untuk membayar petugas keamanan yang menjaga peralatan pembuatan e-KTP. "Kami juga butuh alat transportasi untuk mengangkut alatnya dari desa sebelumnya," kata Taufik.Meski begitu, Taufik mengatakan, pihak desa merasa dilematis dengan adanya pungutan tersebut. Sebab, di antara sekitar 10700 wajib e-KTP tidak semuanya mampu membayar pungutan tersebut. "Secara aturan memang menyimpang. Tapi pungutan ini sudah disepakati warga ketika pertemua beberapa waktu lalu," ujarnya.Hal senada juga diutarakan Ketua RW 1, E Kusnadi, ketika ditemui wartawan di lokasi yang sama. Ia menyebut telah disepakati bersama pungutan untuk pembuatan e-KTP ke setiap wajib KTP. "Jujur dari Rp 1500 per wajib KTP untuk upah Ketua RT yang bekerja mendata wajib KTP," ujar Kusnadi,Kamis (18/10).Sedangkan sisa dari Rp 1500 itu, Kusnadi tidak mengetahui secara pasti. Ia pun tidak mengetahui berapa nominal yang akan diberikan kepada operator nanti. "Kami 13 Rw di Desa Rancaekek Kulon hanya menyepakati adanya pungutan Rp 5 ribu untuk pembuatan e-KTP dengan alasan untuk biaya konsumsi operator dan upah lainnya," kata Kusnadi.Kepala Urusan Umum Desa Rancaekek Kulon, Bandi Subandi, pun belum memastikan besaran yang akan diberikan kepada operator pembuat e-KTP. Hanya saja, ia mendapatkan onformasi dari desa sebelumnya jika operator pembuat e-KTP mendapatkan jatah sebesar Rp 1000 untuk setiap wajib KTP. "Itu baru rencana tapi untuk pastinya masih kami pikirkan," ujarnya ketika ditemui,Kamis (18/10).Sebelumnya, hal serupa pernah terjadi di dua desa lainnya di Kecamatan Rancaekek. program pemerintah yang seharusnya bebas biaya itu berbiaya Rp 5 ribu per wajib KTP di beberapa desa di Kecamatan Rancaekek.Kepala Desa Cangkuang, Sobana di ruang kerjanya di Kantor Desa Cangkuang, Kamis (2/8), mengatakan pungutan itu sesuai dengan kesepatakatan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Namun demikian, Sobana mengaku tidak setuju dengan pungutan tersebut. Itu sebabnya Sobani mengaku tidak semua warganya membayar pungutan tersebut.Hal senada juga diutarakan Kepala Desa Linggar melalui Kepala Seksi (Kasi) Pemerintahan, Iip Sarifudin, ketika ditemui wartawan di ruang kerjanya, Kantor Desa Linggar, Kamis (2/8). Iip menjelaskan, pungutan itu merupakan kesepakatan warga guna biaya operasional pengurusan E-KTP yang dilakukan di kantor desa. Pungutan tersebut, menurut Iip, untuk biaya operasional selama mendata wajib
KTP.(Dent)

LKS Seharusnya Gratis Tak di Perjual Belikan



Catatan Jurnalis - Ketua Forum Komite Sekolah Kabupaten Bandung, Nandang Harun, merasa prihatin mendengar murid di SMPN 1 Majalaya dan SMPN 1 Ibun dan juga murid SMP lainya di Kabupaten Bandung, harus membeli lembar kerja sekolah (LKS).
Menurutnya, LKS yang ideal itu seharusnya dibuat gurunya sendiri dan dibagikan secara gratis kepada muridnya.
"Latihan kerja itu kan seharusnya disesuaikan dengan kondisi siswa yang diajarkan. Tapi yang terjadi ternyata LKS-nya dari mana dan tidak tahu buatan siapa," kata Nandang ketika dihubungi melalui ponselnya, Kamis (18/10).Nandang menilai, ada indikasi pengarahan siswa dalam membeli LKS di kedua SMP tersebut. Itu mengapa LKS bisa diperjualbelikan di kedua sekolah tersebut. Padahal sudah jelas praktek jual beli LKS di sekolah melanggar aturan.
"Saya heran selama ini tidak ada ketegasan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung untuk meminta guru untuk membuat LKS. Akibatnya persoalan jualbeli LKS terus terjadi di berbagai sekolah dengan berbagai dalih," kata Nandang.
Menurut Nandang, berdasarkan aturan LKS itu hanya boleh dibeli guru sebagai panduan untuk memberikan latihan kepada muridnya. Lagi pula, kata dia, tidak semua orang tua memiliki kemampuan untuk membiayai sekolah anaknya meski setiap orang tua pasti ingin memiliki anak yang pandai. Karena itu, kata Nandang, LKS yang diperjualbelikan di sekolah adalah pelanggaran."Tujuan LKS memang bagus. Tapi kenapa orang tua yang dijadikan objek penderitaan. Lagi pula anak-anak pasti mau tidak mau membeli LKS karena pasti akan ada penugasan dari guru. Secara tidak langsung orang tua dipaksa membeli," kata Nandang.Nandang pun meminta kepala sekolah (Kepsek) SMP yang sekolahnya benar menjual LKS harus bersikap tegas.
 Kepsek, ucap Nandang, tak hanya menegur guru yang mengarahkan siswanya untuk membeli LKS. "Jangan sampai kepsek pura-pura tidak tahu ketika ditanya peredaran LKS di sekolahnya. Itu kan tidak lucu. Kalau perlu ada sanksi berat," kata Nandang.Selan itu, kata Nandang, Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Bandung juga harus menegur kepsek yang membiarkan peredaran LKS di sekolahnya. Sebab, ucap Nandang, kepsek merupakan penanggungjawab sekolah. "Kalau perlu diberi sanksi saja. Apalagi kalau kepsek itu ikut main dalam jualbeli LKS. Kalau begini terus kapan guru bisa pinter," kata Nandang.
Sementara itu, Kepala Bidang SMP Disdik Kabupaten Bandung, Marlan Nursyamsu, berjanji akan menindak tegas kepala sekolah atau guru yang mewajibkan muridnya membeli LKS."Kami tidak mau berandai-andai. Kami akan ke lapangan dulu melihat bagaimana proses adanya LKS tersebut. Dan sanksi untuk kesalahan memang ada. Tapi saya belum bisa menyebutnya. kami akan lihat tingkat pelanggarannya sampai mana," kata Marlan ketika ditemui wartawan di SMP Negeri 1 Ciparay, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, Kamis (18/10).Marlan mengaku, sekolah memang tidak diperkenankan memperjualbelikan LKS. Sebab tidak semua orang tua mampu membeli LKS meski secara kebutuhan memang diperlukan. "Persoalan LKS itu adalah bagaimana cara memperolehnya. Karena itu memang harus ada cara untuk menyiasati agar setiap murid bisa memiliki LKS tanpa ada keluhan serta jangan sampai melanggar regulasi yang ada," kata Marlan.Itu sebabnya, Marlan menyebut LKS idealnya dibuat oleh guru. Karena marlan itu akan bekerjasama dengan pengawas untuk meminta guru membuat LKS. "Alangkah baiknya semua bisa bersinergi," ujarnya. (Dent)

Label 1

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Jurnalis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger