Kamis, 24 Januari 2013

Meski Memakai Jampersal Ditarik Biaya Sampai Rp 600 ribu


Catatan Jurnalis - Meski memiliki jaminan persalinan (Jampersal),
namun sejumlah warga di Kampung Puja, Desa Panyadap, Kecamatan
Solokanjeruk, Kabupaten Bandung tetap diminta membayar biaya
persalinan. Biaya persalinan itu mulai dari Rp 400 ribu sampai Rp 600
ribu.
"Katanya uang itu untuk paraji (dukun bayi) dan asisten bidan," ujar
Een (46) warga RT 03/RW 03 Kampung Puja , Desa Panyadap, Kecamatan
Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, ketika ditemui wartawan, Selasa (8/1).
Een mengaku, cucunya, yakni Azam Alfarizi ditarik biaya persalinan
sebesar Rp 400 ribu ketika dilahirkan tujuh bulan yang lalu di tempat
praktek seorang bidan di Kecamatan Solokanjeruk. Padahal ibu yang
melahirkan Azam, yakni Epon Handayani (27) menggunakan jampersal dalam
proses persalinannya. Pembuatan jampersal itu pun atas permintaan
bidan tersebut sebelum melahirkan.
"Sebelum melahirkan kami sudah membuat jampersal. Sebab dengan
jampersal biaya melahirkan dijamin gratis oleh pemerintah. Tapi
ternyata kami tetap membayar," ujar Een.
Een pun mengaku jika jadinya hanya membayar Rp 300 ribu. Sebab, kata
dia, Rp 100 ribu dikembalikan lantaran tidak dikenakan biaya pembuatan
akta kelahiran. "Karena saudara saya kerja di desa jadinya tidak jadi
membayar utuh. Katanya Rp 100 ribu itu untuk biaya pembuatan akta
kelahiran," ujar Een.
Dikatakan Een, penarikan sejumlah biaya tersebut tidak dialaminya
seorang saja di desanya. Menurutnya seluruh warga yang melahirkan di
bidan tersebut juga ditarik biaya dengan patokan nilai Rp 400 ribu.
"Aneh memang, padahal di Rumah Sakit yang peralatannya lengkap bisa
gratis, tapi di bidan kami (warga) disuru membayar. Dan itu ditarif
dengan harga Rp 400 ribu," ujar Een.
Menurut Een, masyarakat tidak akan mengeluhkan persolalan ini jika tak
ada patokan harga. Pasalnya tak semua masyarakat di Kampung Puja
tergolong warga yang berada dan mampu.
"Kalau upah untuk paraji dan asisten seikhlasnya mungkin tak akan ada
masyarakat yang mengeluh. Apalagi Bidan lain yang ada di Solokanjeruk
jarang menerima amplop dari pasiennya," ujar Een. Ia pun mengaku tak
mendapatkan kuitansi pembayaran ketika melakukan pembayaran tersebut.
.Hal senada juga dikatakan Wiwin Winangsih (38) yang masih satu kampung
dengan Een ketika ditemui di kediamannya, Selasa (8/1). Ia yang
melahirkan seorang bayi perempuan pada Rabu 26 Desember 2012 ini
ditarik biaya Rp 600 ribu meski menggunakan jampersal yang dibuatnya
sebulan sebelum melahirkan.
"Kalau tidak pakai jampersal saya dikenakan biaya Rp 1,2 juta," ujar
Wiwin ketika diwawancara” BN”. Itu sebabnya kakak iparnya,
Juhaningsih (38) membuatkannya jampersal agar tak mengeluarkan biaya
biaya besar ketika melahirkan anaknya itu.
Wiwin pun mengatakan penarikan biaya sebesar Rp 1,2 juta itu bukan
tanpa alasan. Menurutnya, jumlah tersebut merupakan biaya persalinan
anaknya yang lahir kembar."Karena menggunakan jampersal biaya yang harus dibayarkan hanya
separuh dari total tersebut. Jadinya setiap anak saya ditarik Rp 300
ribu," ujar Wiwin yang menamanakan kedua anak kembarnya itu dengan
panggilan Salwa dan Salma.
Namun demikian Wiwin sedih lantaran pada kenyataan Salma tak selamat
pada proses persalinan. Ia pun tetap ditarik uang sebesar Rp 600 ribu
karena melahirkan anak keempatnya yang kembar itu.
"Lima tahun lalu saya melahirkan anak ketiga saya di Subang tidak
ditarik uang sebesar ini. Hanya Rp 200 ribu, itu pun untuk biaya
pembuatan akta kelahiran dan uang balas jasa untuk bidannya," kata
Wiwin.
Sementara itu Juhaningsih membenarkan perkataan Wiwin. Ia pun sempat
terkejut ketika diminta uang sebesar Rp 600 ribu. Sebab Wiwin selama
ini bergantung kepada kakak kandungnya lantaran tak lagi diurus lagi
oleh suaminya yang merantau ke Jakarta.
Itu mengapa Juhaningsih mengurus syarat-syarat pembuatan jampersal
seperti surat pernyataan tidak memiliki jaminan kesehatan, surat
keterangan tidak mampu, serta melengkapinya dengan KTP dan Kartu
Keluarga (KK)
"Penarikan tersebut hanya secara lisan saja. Tidak ada rinciannya buat
apa-apa. Hanya saja uang itu katanya buat pengganti biaya obat-obatan,
popok, susu, dot dan lain-lainnya. Sebab anak adik ipar saya kembar,
jadi biaya obat juga double," ujar Juhaningsih.
Ia pun mengaku nilai tersebut merupakan harga paket. Karena biaya
semakin mahal jika tak menggunakan paket. Tanpa obat-obatan dan
lainnya, kata Juhaningsih, Wiwin dikenakan biaya sebesar Rp 550 ribu.
"Itu hanya biaya persalinan saja," ujarnya.
Meski ditarik Rp 600 ribu, Juhaningsih mengaku sempat melakukan tawar
menawar tentang biaya tersebut. Namun nilai tersebut tidak bisa
berkurang sehingga membuatnya harus meminjam uang untuk melunasi
tanggungan tersebut.
"Karena tidak bisa turun, saya meminta waktu untuk mencari uang dulu.
Bidan itu pun memperbolehkannya," ujar Juhaningsih.
Tak berbeda dengan Wiwin, Wisinta (23) yang juga masih tetangga juga
ditarik uang. Ibu muda yang melahirkan dua hari lebih awal dari Salwa
dan Salma itu ditarik biaya persalinan sebesar Rp 400 ribu. Namun ia
tak pernah mendapatkan penjelasan biaya tersebut. Bahkan ia tak
mendapatkan kuitansi pembayaran.
"Saya tahunya Rp 100 ribu katanya untuk biaya membuat akta kelahiran.
Tapi sisanya saya tidak tahu buat apa," ujar wanita yang melahirkan
seorang bayi laki-laki ketika ditemui wartawan di kediamannya, Selasa
(8/1).
Kepala Desa Panyadap, Agung Pramuja Alamsyah, membenarkan persoalan
tersebut. Namun hal tersebut masih berdasarkan laporan warga yang
mengeluh kepadanya. Itu sebabnya ia belum mau berkomentar banyak dan
menanggapi persoalaan tersebut lebih jauh.
"Keluhan memang ada tapi itu perlu dibuktikan dulu. Kami pun sempat
mengadakan pertemuan dengan Kepala Puskemas Solokanjeruk tentang
persoalan ini. Tapi sejauh ini belum ada bukti yang membuktikan ada
penarikan. Baru keluhan saja," ujarnya ketika dihubungi melalui
ponsel, Selasa (8/1).
Agus menilai, penarikan sejumlah uang kepada ibu hamil tidak bisa
dibenarkan. Apalagi wanita hamil tersebut menggunakan jampersal dalam
proses persalinanya. Ia pun tak membenarkan jika biaya tersebut
berdalih pengganti obat-obatan dan lainnya seperti yang disebutkan
sejumlah warga.
"Apa pun alasannya tidak dibenarkan, karena pemerintah Kabupaten
Bandung menjamin biaya persalinan ibu hamil. Lagi pula tidak semua
warga mampu membeli yang ditentukan," ujar Agung.
Hal senada juga dikatakan Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung, dr
Riantini ketika dihubungi “BN” melalui ponsel, Selasa (8/1). Ia
mengatakan proses persalinan wanita hamil di Kabupaten Bandung dijamin
gratis jika menggunakan jampersal.
"Asalkan proses persalinan dilakukan di bidan-bidan yang memiliki
perjanjian dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung atau di rumah
sakit pemerintah,'" kata Riantini singkat.
Sementara itu, bidan yang bersangkutan tidak bisa ditemui untuk
dimintai keterangannya. Ketika ditelusuri ke Puskesmas Terpadu (Pustu)
Solokanjeruk, tempatnya bertugas, bidan yang bersangkutan tidak berada
di tempat. Menurut petugas Pustu Solokanjeruk, bidan itu sedang
melakukan kunjungan.
Bidan itu pun tak bisa ditemui di tempat prakteknya. Tempat praktenya
yang bertembok hijau, berpagar hitam dan biru itu terlihat sepi tak
ada pengunjung. Hanya terlihat tulisan nama bidan itu yang menggantung
di sebuah tiang. Selain itu tulisan tutup terlihat jelas di depan
pintu masuk tempat praktek. (Dent)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Jurnalis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger