Catatan Jurnalis - Kata
briket pasti akan membayangkan segenggam batu berwarna hitam legam yang kerap
menjadi bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah. Briket merupakan bahan
bakar padat yang terbuat dari Batubara.
Namun ternyata tak semuanya briket berbahan dari batubara. Briket Kompos, misalnya. Briket ini berbahan baku sampah organik yang diolah sedemikian rupa hingga kegunaannya serupa dengan briket batubara. Pengolahannya pun tak serumit briket batubara. Briket kompos bisa dilakukan secara mandiri dan dilakukan di rumah.
Seperti yang dilakukan Slamet Rudiyanto (42), warga RT 3 RW 2, Perumahan Bina Karya, Desa Sindangsari, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung. Memiliki hobi membaca buku ternyata menggerakkan Slamet lebih kreatif dan belajar mandiri. Ia membuat briket kompos di rumahnya.
"Ini tahun keempat saya membuat briket dan terus berinovasi mengembangkan briket buatan saya," ujar Slamet ketika ditemui “Bn” di lokasi pembuatan briket yang letaknya berdampingan dengan rumahnya, Rabu (17/10). Ia pun menyebut briketnya sebagai briket kotoran hewan (kohe) lantaran kotoran hewan juga menjadi bahan dalam pembuatan briket kompos itu.
Namun demikian, Slamet tak hanya meniru membuat briket kompos berdasarkan teori yang tertuang dalam buku. Ia terus melakukan inovasi sehingga tak hanya merubah setumpuk sampah organik menjadi briket kompos saja. Slamet juga mampu membuat briket berbahan baku sampah anorganik yang dicampur dengan bahan lainnya.
"Kedua jenis bahan bakar buatannya itu memiliki nilai jual yang cukup menjanjikan. Harganya pun lebih murah ketimbang bahan bakar lainnya," kata Slamet. Briket kompos buatan Slamet memang warnanya tak seperti briket batubara. Briketnya berwana coklat seperti kotoran sapi yang mengering.
Pernyataan Slamet itu memang cukup beralasan. Pasalnya keterbatasan minyak bumi pasti harus mencari penggantinya. Namun tak semua bahan bakar alternatif ramah lingkungan dan mudah dalam pembuatannya. Arang misalnya. Untuk membuat arang harus membutuhkan kayu yang harganya mahal. Belum lagi asap yang dikeluarkan dari arang.
Berbeda halnya dengan briket kompos. Untuk membuatnya, ucap Slamet, tak perlu membutuhkan bahan baku yang mahal dan sulit diperoleh. Ribuan bahkan berton-ton sampah menanti untuk dirubah dan dijadikan briket. Apalagi di setiap Kabupaten/kota pasti memiliki tempat pembuangan akhir (TPA).
"Pembuatan briket ini membantu mengurangi jumlah sampah yang terus meningkat setiap tahunnya. Tapi juga memiliki manfaat untuk menjadi bahan bakar," ujar Slamet.
Slamet pun mengatakan, briket kompos lebih ramah lingkungan ketimbang bahan bakar lainnya. Dengan percobaannya selama empat tahun, Slamet mampu membuat briket yang mengeluarkan api biru dan tak mengeluarkan asap. Bahkan briket yang berasal dari sampah anorganik masih bisa direproduksi lagi. "Dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan 1 Kg briket ini bisa menyala 1-2 jam," ujar Slamet. Ukuran dan bentuknya, ujar Slamet, bisa disesuaikan dengan kebutuhan.
Meski begitu, Slamet tak memungkiri, kepercayaan masyarakat kepada bahan bakar dari minyak bumi memang masih tinggi. Masih banyak memandang sebelah mata briket kompos. Selain itu, masyarakat lebih senang menggunakan barang yang instan. Artinya, kata Slamet, masyarakat tak mau repot dalam melakukan sesuatu. Itu sebabnya briket buatan Slamet masih ditujukan kepada pelaku usaha yang menggunakan api dalam memasak produknya.
"Briket-briket buatan saya memang sudah banyak dipesan pengusaha dodol di Garut. Karena mereka masih menggunakan kayu bakar yang harganya mahal. Kalau untuk rumahan memang cukup sulit," kata Slamet.
Slamet mengaku, belum mampu memproduksi briket dengan jumlah yang banyak meski produknya mulai dikenal. Bahkan briket buatannya sudah cukup dikenal jajaran rektorat Universitas Padjadjaran (Unpad). Itu mengapa Slamet mendapatkan bantuan sebuah mesin dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unpad beberapa waktu lalu. Mesin tersebut, kata Slamet, memiliki nilai sekitar Rp 25 juta.
"Sekarang saya sudah bisa membuat 1 ton briket kompos jika menggunakan sampah ini," kata pria yang nyaris putus asa ketika mengembangkan kreatifitasnya itu. Ia mengaku hanya bisa 40 kg setiap harinya jika menggunakan cara manual. Karena itu ia tak mau terikat kontrak dengan pihak pengusaha karena belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen. "Setiap kg-nya dijual Rp 1500. Itu kalau ke konsumen langsung," kata Slamet. Sedangkan biaya produksi, kata Slamet, tak lebih dari Rp 800 per kg-nya.
Dikatakan Slamet, usahanya itu memang membutuhkan kerja sama banyak pihak. Dinas Perumahan Tata Ruang dan Kebersihan (Dispertasih) Kabupaten Bandung misalnya. Ia menyebut, membutuhkan bantuan Dispertasih dalam menyediakan bahan baku. "Kalau perlu pembuatan briket di TPA milik pemerintah agar tak banyak biaya transportasi," kata Slamet.
Tak hanya Dispertasih, briket buatannya juga membutuhkan sosialiasi terutama dalam hal kegunaan briket kompos. Karena itu ia ingin Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Bandung bisa membantu apa yang dilakukannya. "Terus terang sejauh ini saya baru bekerja sama dengan Unpad dan Karang Taruna," kata Slamet.
Slamet pun otpmisitis, briket akan menjadi bahan bakar alternatif. Sebab, briket olahannya sudah mulai didengar dan dipantau Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Lagi pula, ia bekerja sama dengan Unpad dalam mengembangkan teknologi pembuatan briket. "Kalau memang terbatas tempat usaha ini bisa berkembang dengan sistem retailer. Tapi kembali yang jelas kami membutuhkan bantuan pemerintah."(Deden Kusdinar)
Namun ternyata tak semuanya briket berbahan dari batubara. Briket Kompos, misalnya. Briket ini berbahan baku sampah organik yang diolah sedemikian rupa hingga kegunaannya serupa dengan briket batubara. Pengolahannya pun tak serumit briket batubara. Briket kompos bisa dilakukan secara mandiri dan dilakukan di rumah.
Seperti yang dilakukan Slamet Rudiyanto (42), warga RT 3 RW 2, Perumahan Bina Karya, Desa Sindangsari, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung. Memiliki hobi membaca buku ternyata menggerakkan Slamet lebih kreatif dan belajar mandiri. Ia membuat briket kompos di rumahnya.
"Ini tahun keempat saya membuat briket dan terus berinovasi mengembangkan briket buatan saya," ujar Slamet ketika ditemui “Bn” di lokasi pembuatan briket yang letaknya berdampingan dengan rumahnya, Rabu (17/10). Ia pun menyebut briketnya sebagai briket kotoran hewan (kohe) lantaran kotoran hewan juga menjadi bahan dalam pembuatan briket kompos itu.
Namun demikian, Slamet tak hanya meniru membuat briket kompos berdasarkan teori yang tertuang dalam buku. Ia terus melakukan inovasi sehingga tak hanya merubah setumpuk sampah organik menjadi briket kompos saja. Slamet juga mampu membuat briket berbahan baku sampah anorganik yang dicampur dengan bahan lainnya.
"Kedua jenis bahan bakar buatannya itu memiliki nilai jual yang cukup menjanjikan. Harganya pun lebih murah ketimbang bahan bakar lainnya," kata Slamet. Briket kompos buatan Slamet memang warnanya tak seperti briket batubara. Briketnya berwana coklat seperti kotoran sapi yang mengering.
Pernyataan Slamet itu memang cukup beralasan. Pasalnya keterbatasan minyak bumi pasti harus mencari penggantinya. Namun tak semua bahan bakar alternatif ramah lingkungan dan mudah dalam pembuatannya. Arang misalnya. Untuk membuat arang harus membutuhkan kayu yang harganya mahal. Belum lagi asap yang dikeluarkan dari arang.
Berbeda halnya dengan briket kompos. Untuk membuatnya, ucap Slamet, tak perlu membutuhkan bahan baku yang mahal dan sulit diperoleh. Ribuan bahkan berton-ton sampah menanti untuk dirubah dan dijadikan briket. Apalagi di setiap Kabupaten/kota pasti memiliki tempat pembuangan akhir (TPA).
"Pembuatan briket ini membantu mengurangi jumlah sampah yang terus meningkat setiap tahunnya. Tapi juga memiliki manfaat untuk menjadi bahan bakar," ujar Slamet.
Slamet pun mengatakan, briket kompos lebih ramah lingkungan ketimbang bahan bakar lainnya. Dengan percobaannya selama empat tahun, Slamet mampu membuat briket yang mengeluarkan api biru dan tak mengeluarkan asap. Bahkan briket yang berasal dari sampah anorganik masih bisa direproduksi lagi. "Dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan 1 Kg briket ini bisa menyala 1-2 jam," ujar Slamet. Ukuran dan bentuknya, ujar Slamet, bisa disesuaikan dengan kebutuhan.
Meski begitu, Slamet tak memungkiri, kepercayaan masyarakat kepada bahan bakar dari minyak bumi memang masih tinggi. Masih banyak memandang sebelah mata briket kompos. Selain itu, masyarakat lebih senang menggunakan barang yang instan. Artinya, kata Slamet, masyarakat tak mau repot dalam melakukan sesuatu. Itu sebabnya briket buatan Slamet masih ditujukan kepada pelaku usaha yang menggunakan api dalam memasak produknya.
"Briket-briket buatan saya memang sudah banyak dipesan pengusaha dodol di Garut. Karena mereka masih menggunakan kayu bakar yang harganya mahal. Kalau untuk rumahan memang cukup sulit," kata Slamet.
Slamet mengaku, belum mampu memproduksi briket dengan jumlah yang banyak meski produknya mulai dikenal. Bahkan briket buatannya sudah cukup dikenal jajaran rektorat Universitas Padjadjaran (Unpad). Itu mengapa Slamet mendapatkan bantuan sebuah mesin dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unpad beberapa waktu lalu. Mesin tersebut, kata Slamet, memiliki nilai sekitar Rp 25 juta.
"Sekarang saya sudah bisa membuat 1 ton briket kompos jika menggunakan sampah ini," kata pria yang nyaris putus asa ketika mengembangkan kreatifitasnya itu. Ia mengaku hanya bisa 40 kg setiap harinya jika menggunakan cara manual. Karena itu ia tak mau terikat kontrak dengan pihak pengusaha karena belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen. "Setiap kg-nya dijual Rp 1500. Itu kalau ke konsumen langsung," kata Slamet. Sedangkan biaya produksi, kata Slamet, tak lebih dari Rp 800 per kg-nya.
Dikatakan Slamet, usahanya itu memang membutuhkan kerja sama banyak pihak. Dinas Perumahan Tata Ruang dan Kebersihan (Dispertasih) Kabupaten Bandung misalnya. Ia menyebut, membutuhkan bantuan Dispertasih dalam menyediakan bahan baku. "Kalau perlu pembuatan briket di TPA milik pemerintah agar tak banyak biaya transportasi," kata Slamet.
Tak hanya Dispertasih, briket buatannya juga membutuhkan sosialiasi terutama dalam hal kegunaan briket kompos. Karena itu ia ingin Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Bandung bisa membantu apa yang dilakukannya. "Terus terang sejauh ini saya baru bekerja sama dengan Unpad dan Karang Taruna," kata Slamet.
Slamet pun otpmisitis, briket akan menjadi bahan bakar alternatif. Sebab, briket olahannya sudah mulai didengar dan dipantau Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Lagi pula, ia bekerja sama dengan Unpad dalam mengembangkan teknologi pembuatan briket. "Kalau memang terbatas tempat usaha ini bisa berkembang dengan sistem retailer. Tapi kembali yang jelas kami membutuhkan bantuan pemerintah."(Deden Kusdinar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar