Catatan Jurnalis - Tepatnya
di RT 3 RW 9 Kampung Ciseke, Desa Sindangsari, Kecamatan Paseh, Minggu (14/10),
seorang pria tua terlihat sibuk menggerak-gerakkan sebuah mesin tenun
tradisional yang terbuat dari kayu.
Pria yang menggenakan batik ini ternyata sedang membuat tikar yang bahan bakunya berasal dari tanaman Menong. Tanaman jenis rumput ini tumbuh kabarnya hanya tumbuh di daerah yang berlumpur dan memiliki air yang cukup. Selain itu, tanaman ini kabarnya tumbuh dengan panjang lebih kurang 100 cm. Ukurannya pun menyerupai jerami kering.
Mengapit sebatang rokok di bibirnya, jemari pria tua yang memiliki nama Obir (67) itu terlihat lihai memainkan rupa-rupa benang yang terpasang di mesin tenun tradisional tersebut. Tangan kanannya merajut sekumpulan benang, sedangkan tangan kirinya memasukkan seikat menong. Seolah sedang memainkan alat musik petik, sesekali Obir berhenti memainkan benangnya ketika mengisap dalam dalam rokok kreteknya.
Di atas mesin tenun yang kerap disebut tustel itu, Obir tak hanya menggerakkan tangannya saja. Kedua kakinya pun bergerak silih berganti seperti menggenjot kayuh sepeda. Hanya saja, kayuh yang terbuat dari dua batang bambu. Kaki Obir terlihat naik turun seiring dengan gerak kedua tangannya.
Jika tangan kanannya memainkan benang, maka bambu yang diinjak kaki kirinya berada di bawah. Begitu pula sebaliknya, jika tangan kanannya memasukkan setangkai menong ke dalam rajutan benang itu, maka bambu yang diinjak kaki kanannya berada di bawah.
Meski begitu, apa yang dilakukan Obir ternyata bukan usaha miliknya melainkan usaha yang sudah lama ditekuni anaknya, Marna (39). Tak hanya sendiri, kata dia, usaha yang dilakukan Marna itu juga melibatkan beberapa warga kampungnya itu.
"Kerajinan yang kami lakukan ini menggunakan biaya mandiri. Tanpa bantuan dari siapa pun," kata Obir ketika ditemui wartawan, Minggu (14/10) siang. Marna, kata obir, mengembangkan kerajinan tangan dari tanaman menong itu sejak tahun 2009.
Obir memang tak memahami jelas tentang penjualan kerajinan yang dilakukan Marna dan sekitar 30 warga Kampung Ciseke itu. Namun, kata Obir, usaha anaknya sudah diterima pembeli asal Tasikmalaya. "Saya hanya membantu saja kalau tidak ada kerjaan di sawah," kata Obir.
Hal senada juga diutarakan Ibin Sohibin (52), warga RT 1 RW 9 Kampung Ciraab, Desa Sindangsari, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung ketika ditemui di kediamannya, Minggu (14/10). Ibin merupakan rekan bisnis Marna sekaligus guru lantaran sebagai perintis kerajinan menong di Desa Sindangsari untuk pertama kalinya. "Kalau saya memulai membuat kerajinan ini sejak tahun 2002," ujar Ibin.
Dikatakan Ibin, kerajinan tikar di desa itu berawal dari ketertarikannya memanfaatkan tanaman yang tumbuh liar itu. Pertama kalinya ia melihat kerajinan tikar berbahan menong itu ketika bepergian ke Tasikmalaya. Berkenalan dengan pegusaha kerajinan menong, ia pun tertarik untuk membuat kerajinan menong di rumahnya.
"Dulu saya memang punya pengalaman menenun sarung karena dulunya kerja di pabrik tenun. Karena di PHK saya mencoba usaha mandiri di rumah," kata Ibin.
Kewalahan melayani pesanan yang terus meningkat, ia pun memberdayakan warga di sekitar kampungnya. Terhitung, ucap dia, sekitar 24 warga Kampung Ciraab menjadi karyawan lepasnya sejak merintis usahanya. Namun ke-24 perajin itu, ucap Ibin, tak bekerja di rumah Ibin melainkan bekerja di rumahnya masing-masing. Ibin membuatkan tustle dan menaruh di kediaman para perajin itu. Alasannya agar karyawan bisa lebih fokus dalam melakukan pekerjaannya. Itu sebabnya di rumah Ibin hanya terlihat sekitar empat buah mesin tustle.
"Perajinnya memang kebanyakan ibu-ibu. Dan mereka bekerja ketika waktu senggang karena mereka harus memasak, mencuci dan kegiatan rumah tangga lainnya," kata Ibin.
Meski begitu usaha yang dilakukan Ibin dan beberapa warganya itu sempat tersandung persoalan. Tergiur untung besar, Ibin tertipu pelanggan yang mengaku berasal dari Pulau Jawa. Pria tersebut menjanjikan akan membantu pengiriman kerajinan hasil tangannya ke luar negeri. Sebanyak 10 kodi tikar tak dibayar pria yang mengaku berasal dari Bogor itu.
"Sejak saat itu kami mulai hati-hati dan hanya mau mengirim barang ke Tasikmalaya saja," kata Ibin.
Dikatakan Ibin, setiap 10 hari, para perajinnya mampu memproduksi sekitar 15 kodi atau sekitar 300-400 lembar tikar menong. Setiap lembarnya, kata Ibin, memiliki panjang sekitar 13 meter. "Coraknya berbeda-beda dan per kodinya kami jual sekiar Rp 560 ribu," ujar Ibin.
Ibin mengatakan, saat ini memang banyak bermunculan perajin menong di Desa Sindangsari. Ia mengatakan ada empat perajin yang menekuni bidang ini. "Keempatnya masih rekananan. Mereka juga memberdayakan warga sekitar untuk melakukan pekerjaan ini. Setiap perajin biasanya memiliki 30-40 orang," kata Ibin. Ia mengatakan, bukan tak mungkin makin banyak bermunculan perajin-perajin lainnya di kemudian hari.
Namun demikian, banyaknya perajin di desa ternyata belum memiliki kelompok perajin menong. Akibatnya para perajin menong ini sering kesulitan dalam permodalan jika ingin meminjam modal. Selain itu, para investor lebih percaya jika para perajin memiliki kelompok perajin.
"Kalau memang ada kelompok perajin kan pasti tidak ada monopoli harga dan permainan harga. Kelompok juga pasti bisa membantu perajin yang kesulitan memasarkan produknya. Sebab bukan tak mungkin hasil kerajinan kami dilirik masyarakat luar negeri," ujar Ibin yang tak memungkiri ingin usahanya bisa merambah ke luar negeri.
Dikatakan Ibin, pembentukan kelompok sudah sempat dibicarakan sejak tahun 2010. Kala itu para perajin sudah membicarakan dan memperjuangkan pembentukan kelompok perajin ke pemerintah Kabupaten Bandung. Namun, kata dia, sampai sekarang tak ada tanggapan dari pemerintah Kabupaten Bandung.
"Harapan kami dengan adanya kelompok dinas terkait di Kabupaten Bandung bisa membantu kami untuk memfasilitasi kami dalam pencarian investor. Selain itu kami juga membutuhkan pelatihan untuk mengembangkan usaha kami. Tapi nyatanya tak ada tembusan bahkan tinjauan dari pemerintah terhadap apa yang kami lakukan," katanya.
Ibin mengatakan, para perajin menong di Desa Sindangsari memang berharap kerajinannya bisa dikenal ke berbagai daerah seperti kerajinan menong yang ada di Yogyakarta. Bahkan, kata dia, kerajinan menong di Yogyakarta tak hanya memproduksi tikar saja. Menurutnya, berbagai macam aksesoris, souvenir, tas, dan lainnya menjadi daya tarik wisatawan ketika menyambangi kota gudeg itu.
"Kalau kami memiliki modal besar tentunya kami ingin mengembangkan kerajinan kami sehingga tak hanya membuat tikar saja. Kami pun sudah mencoba membuat tas dari menong dan kami pun bisa. Tapi semuanya memang terbentur modal karena bahannya tak hanya menong saja. Untuk memenuhi kebutuhan menong ke Tasikmalaya saja kami masih kewalahan," ujar Ibin yang ingin Desa Sindangsari menjadi sentra kerajinan menong di Kabupaten Bandung.(Dent)
Pria yang menggenakan batik ini ternyata sedang membuat tikar yang bahan bakunya berasal dari tanaman Menong. Tanaman jenis rumput ini tumbuh kabarnya hanya tumbuh di daerah yang berlumpur dan memiliki air yang cukup. Selain itu, tanaman ini kabarnya tumbuh dengan panjang lebih kurang 100 cm. Ukurannya pun menyerupai jerami kering.
Mengapit sebatang rokok di bibirnya, jemari pria tua yang memiliki nama Obir (67) itu terlihat lihai memainkan rupa-rupa benang yang terpasang di mesin tenun tradisional tersebut. Tangan kanannya merajut sekumpulan benang, sedangkan tangan kirinya memasukkan seikat menong. Seolah sedang memainkan alat musik petik, sesekali Obir berhenti memainkan benangnya ketika mengisap dalam dalam rokok kreteknya.
Di atas mesin tenun yang kerap disebut tustel itu, Obir tak hanya menggerakkan tangannya saja. Kedua kakinya pun bergerak silih berganti seperti menggenjot kayuh sepeda. Hanya saja, kayuh yang terbuat dari dua batang bambu. Kaki Obir terlihat naik turun seiring dengan gerak kedua tangannya.
Jika tangan kanannya memainkan benang, maka bambu yang diinjak kaki kirinya berada di bawah. Begitu pula sebaliknya, jika tangan kanannya memasukkan setangkai menong ke dalam rajutan benang itu, maka bambu yang diinjak kaki kanannya berada di bawah.
Meski begitu, apa yang dilakukan Obir ternyata bukan usaha miliknya melainkan usaha yang sudah lama ditekuni anaknya, Marna (39). Tak hanya sendiri, kata dia, usaha yang dilakukan Marna itu juga melibatkan beberapa warga kampungnya itu.
"Kerajinan yang kami lakukan ini menggunakan biaya mandiri. Tanpa bantuan dari siapa pun," kata Obir ketika ditemui wartawan, Minggu (14/10) siang. Marna, kata obir, mengembangkan kerajinan tangan dari tanaman menong itu sejak tahun 2009.
Obir memang tak memahami jelas tentang penjualan kerajinan yang dilakukan Marna dan sekitar 30 warga Kampung Ciseke itu. Namun, kata Obir, usaha anaknya sudah diterima pembeli asal Tasikmalaya. "Saya hanya membantu saja kalau tidak ada kerjaan di sawah," kata Obir.
Hal senada juga diutarakan Ibin Sohibin (52), warga RT 1 RW 9 Kampung Ciraab, Desa Sindangsari, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung ketika ditemui di kediamannya, Minggu (14/10). Ibin merupakan rekan bisnis Marna sekaligus guru lantaran sebagai perintis kerajinan menong di Desa Sindangsari untuk pertama kalinya. "Kalau saya memulai membuat kerajinan ini sejak tahun 2002," ujar Ibin.
Dikatakan Ibin, kerajinan tikar di desa itu berawal dari ketertarikannya memanfaatkan tanaman yang tumbuh liar itu. Pertama kalinya ia melihat kerajinan tikar berbahan menong itu ketika bepergian ke Tasikmalaya. Berkenalan dengan pegusaha kerajinan menong, ia pun tertarik untuk membuat kerajinan menong di rumahnya.
"Dulu saya memang punya pengalaman menenun sarung karena dulunya kerja di pabrik tenun. Karena di PHK saya mencoba usaha mandiri di rumah," kata Ibin.
Kewalahan melayani pesanan yang terus meningkat, ia pun memberdayakan warga di sekitar kampungnya. Terhitung, ucap dia, sekitar 24 warga Kampung Ciraab menjadi karyawan lepasnya sejak merintis usahanya. Namun ke-24 perajin itu, ucap Ibin, tak bekerja di rumah Ibin melainkan bekerja di rumahnya masing-masing. Ibin membuatkan tustle dan menaruh di kediaman para perajin itu. Alasannya agar karyawan bisa lebih fokus dalam melakukan pekerjaannya. Itu sebabnya di rumah Ibin hanya terlihat sekitar empat buah mesin tustle.
"Perajinnya memang kebanyakan ibu-ibu. Dan mereka bekerja ketika waktu senggang karena mereka harus memasak, mencuci dan kegiatan rumah tangga lainnya," kata Ibin.
Meski begitu usaha yang dilakukan Ibin dan beberapa warganya itu sempat tersandung persoalan. Tergiur untung besar, Ibin tertipu pelanggan yang mengaku berasal dari Pulau Jawa. Pria tersebut menjanjikan akan membantu pengiriman kerajinan hasil tangannya ke luar negeri. Sebanyak 10 kodi tikar tak dibayar pria yang mengaku berasal dari Bogor itu.
"Sejak saat itu kami mulai hati-hati dan hanya mau mengirim barang ke Tasikmalaya saja," kata Ibin.
Dikatakan Ibin, setiap 10 hari, para perajinnya mampu memproduksi sekitar 15 kodi atau sekitar 300-400 lembar tikar menong. Setiap lembarnya, kata Ibin, memiliki panjang sekitar 13 meter. "Coraknya berbeda-beda dan per kodinya kami jual sekiar Rp 560 ribu," ujar Ibin.
Ibin mengatakan, saat ini memang banyak bermunculan perajin menong di Desa Sindangsari. Ia mengatakan ada empat perajin yang menekuni bidang ini. "Keempatnya masih rekananan. Mereka juga memberdayakan warga sekitar untuk melakukan pekerjaan ini. Setiap perajin biasanya memiliki 30-40 orang," kata Ibin. Ia mengatakan, bukan tak mungkin makin banyak bermunculan perajin-perajin lainnya di kemudian hari.
Namun demikian, banyaknya perajin di desa ternyata belum memiliki kelompok perajin menong. Akibatnya para perajin menong ini sering kesulitan dalam permodalan jika ingin meminjam modal. Selain itu, para investor lebih percaya jika para perajin memiliki kelompok perajin.
"Kalau memang ada kelompok perajin kan pasti tidak ada monopoli harga dan permainan harga. Kelompok juga pasti bisa membantu perajin yang kesulitan memasarkan produknya. Sebab bukan tak mungkin hasil kerajinan kami dilirik masyarakat luar negeri," ujar Ibin yang tak memungkiri ingin usahanya bisa merambah ke luar negeri.
Dikatakan Ibin, pembentukan kelompok sudah sempat dibicarakan sejak tahun 2010. Kala itu para perajin sudah membicarakan dan memperjuangkan pembentukan kelompok perajin ke pemerintah Kabupaten Bandung. Namun, kata dia, sampai sekarang tak ada tanggapan dari pemerintah Kabupaten Bandung.
"Harapan kami dengan adanya kelompok dinas terkait di Kabupaten Bandung bisa membantu kami untuk memfasilitasi kami dalam pencarian investor. Selain itu kami juga membutuhkan pelatihan untuk mengembangkan usaha kami. Tapi nyatanya tak ada tembusan bahkan tinjauan dari pemerintah terhadap apa yang kami lakukan," katanya.
Ibin mengatakan, para perajin menong di Desa Sindangsari memang berharap kerajinannya bisa dikenal ke berbagai daerah seperti kerajinan menong yang ada di Yogyakarta. Bahkan, kata dia, kerajinan menong di Yogyakarta tak hanya memproduksi tikar saja. Menurutnya, berbagai macam aksesoris, souvenir, tas, dan lainnya menjadi daya tarik wisatawan ketika menyambangi kota gudeg itu.
"Kalau kami memiliki modal besar tentunya kami ingin mengembangkan kerajinan kami sehingga tak hanya membuat tikar saja. Kami pun sudah mencoba membuat tas dari menong dan kami pun bisa. Tapi semuanya memang terbentur modal karena bahannya tak hanya menong saja. Untuk memenuhi kebutuhan menong ke Tasikmalaya saja kami masih kewalahan," ujar Ibin yang ingin Desa Sindangsari menjadi sentra kerajinan menong di Kabupaten Bandung.(Dent)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar