Ibun BN -EMPAT puluh tahun sudah, Pak Ana (40) tinggal di sebuah rumah yang
panjang dan lebarnya tak lebih dari tiga langkah kaki orang dewasa di
Kampung Winten RT 1 RW 11, Desa Cibeet, Kecamatan Ibun, Kabupaten
Bandung.
Rumah peninggalan almarhum ayahnya itu pun belum pernah direnovasi
meski hanya anyaman bambu yang menjadi pelindung dari dinginnya hawa
pegunungan. Model rumahnya seperti panggung. Alas rumahnya pun hanya
terbuat dari kayu sehingga mengeluarkan bunyi ketika kaki mencoba
melangkah.
Ironisnya rumah tersebut jauh dari disebut laiak. Pasalnya semua
aktivitas keluarga Ana dilakukan dalam satu ruangan tersebut. Hanya
mandi, cuci dan kakus (MCK) tak mereka lakukan di dalam ruangan yang
gelap meski siang hari.
Pasangan suami istri yang memiliki dua buah hati itu pun harus
berdesak-desakan ketika merebahkan badan usai melakukan kegiatan
sehari-hari. Ana yang hanya seorang buruh dan Tati seorang pencari
kayu bakar itu mencoba memberikan kenyamanan kepada kedua anaknya,
yakni Fitri (14) dan Abdul (10) agar tak kesiangan ketika sekolah.
"Panas, dingin, dan hujan kami selalu tinggal di sini," kata Tati
ketika ditemui wartawan di kediamannya, Kamis (8/11). Selama tinggal di
rumahnya itu, Ana dan Tati hanya ditemani satu buah lampu yang
menggantung di tengah-tengah langit rumahnya itu.
Tati dan keluarganya memang tak pernah mengeluh dengan keadaannya.
Apalagi dengan penghasilannya dan suaminya yang tak pernah menentu.
Ibarat roda berputar, mereka tetap menikmati dan bersyukur dengan
kehidupan yang mereka jalani itu. Bahkan Tati tak merasa sedih ketika
kehilangan anak ketiganya, Siti Mariam (5) yang meninggal diduga
akibat menderita penyakit.
"Penyebabnya saya tidak tahu karena tidak pernah dibawa ke Puskesmas.
Tiba-tiba saja sakit dan nyawanya tidak tertolong," kata Tati sehabis
mencari kayu bakar. Dikatakannya, Siti meninggal setahun yang lalu.
Ketua RW 11, Ujang Bandi (65), membenarkan kondisi yang dialami
keluarga Ana ketika ditemui Tribun di kediamannya, Kamis (8/11). Ia
pun menyebut kondisi Ana sudah berlangsung sejak ia lahir. "Ana memang
asli orang Kampung Winten," ujar Ujang.
Dikatakan Ujang, selama ini Ana memang belum pernah mendapatkan
bantuan secara langsung dari pemerintah. Hanya saja, Ujang mengaku,
pemerintah sempat menyambangi rumah Ana. Namun kedatangan mereka di
tahun 2010 itu tak ada kelanjutannya. Bahkan Ujang tak yakin jika
aparat pemerintah yang datang itu benar-benar petugas resmi.
"Mereka datang dan mengambil gambar sebanyak dua kali. Tapi mereka tak
memakai seragam seperti apara pemerintahan. Hanya memakai jaket
hitam-hitam," ujar Ujang. Itu mengapa bantuan tak kunjung datang untuk
keluarga Ana.
Ujang mengatakan, kondisi serupa memang tak dialami Ana saja. Di
kampungnya, banyak warga yang tinggal di Rutilahu. Berdasarkan data
yang dihimpun Ujang, sekitar 12 rutilahu ada di Kampung Winten. Hanya
saja, kata Ujang, kondisi rumah Ana yang terlihat parah dan tidak
laiak untuk ditinggali. Apalagi Ana memiliki dua anak yang masih
sekolah.
"Belum lagi satu anak mereka meninggal karena penyakit yang mungkin
karena tidak kuat dengan kondisi dan keadaan rumahnya sehingga mudah
terserang penyakit," ujar Ujang. Ia pun menduga penyakit tersebut
karena kurang bersihnya kondisi rumah Ana itu.
Ujang pun berharap, ada program bantuan yang diberikan kepada warganya
yang memiliki rutilahu. Lebih-lebih ada bantuan untuk membangun rumah
layak huni. "Kalau program pemerintah seperti bantuan banguna atau pun
pembangunan rumah laiak huni kami tak pernah tahu. Belum pernah ada
sosialisasi kepada kami," ujar Ujang.(Dent)
panjang dan lebarnya tak lebih dari tiga langkah kaki orang dewasa di
Kampung Winten RT 1 RW 11, Desa Cibeet, Kecamatan Ibun, Kabupaten
Bandung.
Rumah peninggalan almarhum ayahnya itu pun belum pernah direnovasi
meski hanya anyaman bambu yang menjadi pelindung dari dinginnya hawa
pegunungan. Model rumahnya seperti panggung. Alas rumahnya pun hanya
terbuat dari kayu sehingga mengeluarkan bunyi ketika kaki mencoba
melangkah.
Ironisnya rumah tersebut jauh dari disebut laiak. Pasalnya semua
aktivitas keluarga Ana dilakukan dalam satu ruangan tersebut. Hanya
mandi, cuci dan kakus (MCK) tak mereka lakukan di dalam ruangan yang
gelap meski siang hari.
Pasangan suami istri yang memiliki dua buah hati itu pun harus
berdesak-desakan ketika merebahkan badan usai melakukan kegiatan
sehari-hari. Ana yang hanya seorang buruh dan Tati seorang pencari
kayu bakar itu mencoba memberikan kenyamanan kepada kedua anaknya,
yakni Fitri (14) dan Abdul (10) agar tak kesiangan ketika sekolah.
"Panas, dingin, dan hujan kami selalu tinggal di sini," kata Tati
ketika ditemui wartawan di kediamannya, Kamis (8/11). Selama tinggal di
rumahnya itu, Ana dan Tati hanya ditemani satu buah lampu yang
menggantung di tengah-tengah langit rumahnya itu.
Tati dan keluarganya memang tak pernah mengeluh dengan keadaannya.
Apalagi dengan penghasilannya dan suaminya yang tak pernah menentu.
Ibarat roda berputar, mereka tetap menikmati dan bersyukur dengan
kehidupan yang mereka jalani itu. Bahkan Tati tak merasa sedih ketika
kehilangan anak ketiganya, Siti Mariam (5) yang meninggal diduga
akibat menderita penyakit.
"Penyebabnya saya tidak tahu karena tidak pernah dibawa ke Puskesmas.
Tiba-tiba saja sakit dan nyawanya tidak tertolong," kata Tati sehabis
mencari kayu bakar. Dikatakannya, Siti meninggal setahun yang lalu.
Ketua RW 11, Ujang Bandi (65), membenarkan kondisi yang dialami
keluarga Ana ketika ditemui Tribun di kediamannya, Kamis (8/11). Ia
pun menyebut kondisi Ana sudah berlangsung sejak ia lahir. "Ana memang
asli orang Kampung Winten," ujar Ujang.
Dikatakan Ujang, selama ini Ana memang belum pernah mendapatkan
bantuan secara langsung dari pemerintah. Hanya saja, Ujang mengaku,
pemerintah sempat menyambangi rumah Ana. Namun kedatangan mereka di
tahun 2010 itu tak ada kelanjutannya. Bahkan Ujang tak yakin jika
aparat pemerintah yang datang itu benar-benar petugas resmi.
"Mereka datang dan mengambil gambar sebanyak dua kali. Tapi mereka tak
memakai seragam seperti apara pemerintahan. Hanya memakai jaket
hitam-hitam," ujar Ujang. Itu mengapa bantuan tak kunjung datang untuk
keluarga Ana.
Ujang mengatakan, kondisi serupa memang tak dialami Ana saja. Di
kampungnya, banyak warga yang tinggal di Rutilahu. Berdasarkan data
yang dihimpun Ujang, sekitar 12 rutilahu ada di Kampung Winten. Hanya
saja, kata Ujang, kondisi rumah Ana yang terlihat parah dan tidak
laiak untuk ditinggali. Apalagi Ana memiliki dua anak yang masih
sekolah.
"Belum lagi satu anak mereka meninggal karena penyakit yang mungkin
karena tidak kuat dengan kondisi dan keadaan rumahnya sehingga mudah
terserang penyakit," ujar Ujang. Ia pun menduga penyakit tersebut
karena kurang bersihnya kondisi rumah Ana itu.
Ujang pun berharap, ada program bantuan yang diberikan kepada warganya
yang memiliki rutilahu. Lebih-lebih ada bantuan untuk membangun rumah
layak huni. "Kalau program pemerintah seperti bantuan banguna atau pun
pembangunan rumah laiak huni kami tak pernah tahu. Belum pernah ada
sosialisasi kepada kami," ujar Ujang.(Dent)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar